Sebuah Cerpen Oleh: Nanang Khosim
Sang raja lengit mulai terbangun dari tidur lelapnya di balik selimut kabut putihnya nan tipis disana, sinar emasnya membelai angkasa bangunkan semesta tuk kembali terjaga. kumulai aktifitas ku di pagi yang bersahaja ini, tempat kosku yang sederhana ini ya ukuran dompet mahasiswa kampung sepertuku.
“siapa di
dalam,,? Cepat sedikit uda sakit sekali ini peritku ini” kemudian
terdengar suara lembut dari dalam bilik kecil ukuran 1X 1,5 meter “
tunggu dikit lagi saya masi mandi ini” suara yang tak asing bagiku aku
hafal betul nada lembut itu, Rosnita tetangga kamarku si gadis mungil
dari tanah Toraja. Selang beberapa menit iapun keluar dengan melilitkan
handuk di badannya, wah pemandangan indah di pagi buta gumanku dalam
hati ketika ia melempar senyuman manis kepada ku sambil berlalu.
Tak terasa jarum jam telah menunjukkan pukul 07:45 aku harus segera beranjak dari ruang 3,5X4 meter ini, dengan si antik “VEBI” sapaan untuk si vespa biruku, tak butuh waktu lama sekitar 15 menit aku talah berada di kampus biruku yang gersang tapi menjimpan sejuta ilmu bagi mereka yang haus akan pengetahuan. “hai,, selamat pagi sani” sapa beberapa orang teman kepada ku, setelah menyapa mereka seadanya ku langkahkan kaki menuju ruang kuliaku, entah mengapa pagi ini aku merasa gembira mungkin pengaruh senyuman Rosnita pagi tadi, hahaha,,,.
Sebatang U mild menemaniku menanti kedatangan si dosen tua itu yang terkenal kiler di fakultas ku, “sani bagi rokok mu dong” sebuah suara mengusik ketenangan ku pagi itu, rupanya si Arya sahabat karibku yang terkenal play boy, kemudian kami larut dalam perbincangan hangat mengenai kembang-kembang desa di kampungnya.
Tiba-tiba
sosok wanita berbalut jilbab merah melintas di depanku dengan senyuman
khasnya yang selalu merona kepada siapa saja yang ditemuinya, ya nama
gadis itu Ningsih Rahayu sahabat satu ruanganku, “hahaha,, kenapa kamu?
Naksir ya sama dia?” “ah tidak” balas ku kepada arya, “naksir juga tidak
apa-apa, toh dia juga belum ada yang punya”, perkataan itu sontak buat
ku terperanjak “apa benar dia belum ada yang punya?” tanyaku dalam
hati, diam-diam aku memanga mengaguminya, secara fisik mungkin ia tidak
secantik Dian dan Santi atau seseksi Lina di ruanganku, tapi menurutku
ada yang beda dari dirinya yang jarang kudapatkan dari wanita lain,
senyuman manis yang selalu merona di balik jilbab yang ia kenakan nada
lembut saat ia berucap dan kemampuan intelektualnya yang sangat cerdas,
menurut ku itu yang membuat dia lain dari yang lain.
Sempat beberapa kali aku ingin coba dekat dengan dirinya, tapi malahan aku sendiri yang merasa minder menurutku dia adalah gadis cerdas serta religius, sedangkan aku sangat kontras dengan dirinya IPK tertinggiku saja hanya 2,25 jauh dibawa dirinya apa lagi kalo mau dilihat dari tingkat kereligiusan baca Al-qur’an pun aku tak lancar belum lagi soal penampulanku yang urakan dengan rambut gonderongku yang tek terurus, mana mau dia dekat dengan diriku. Tiba-tiba teman-temanku berlarian masuk ke dalam ruangan rupanya si dosen tua itu telah datang, “wah,, masuk lagi bapak itu” gerutuhku dalam hati.
Aktivitas perkuliahanpun dimulai, entah apa yang dijelaskan oleh sang dosen di depan ruangan akupun tak terlalu paham dengan hal itu kerna pikiranku masi melayang kepada si gadis berjilbab merah yang berada dua kursi di depanku, entah bagai mana caranya aku bisa dekat dengannya.
Tak sadar jariku memainkan pena di atas lembaran kertas
sebuah puisi tercipta untuknya “aku ingin mengenalmu dengan sederhana,
seindah senyumanmu yang memangil hatiku untuk merindumu” tak sadar
intuisi itu datang tiba-tiba menghampiriku.
Tak terasa seng dosen itupun mengakhiri perkuliahannya
dan beranjak pergi dari ruangan ini, kusulut dengan api sebatang U mild
dari kantongku hembusan asap membuatku agak rileks kemudian sebuah nada
lembut menyapaku “sani,kita satu kelompok untuk mata kuliah pengantar
pendidikan, sebentar malam kita mau kerja tugas kelompok di rumahku
datang ya” seakan tersengat arus listrik saat ku menatap sosok yang
berucap di depanku ini ternyata dia si gadis berjilbab merah itu,
seperti orang bodah diriku tak sanggup berucap saat mnatap matanya hanya
kepalaku yang mengangguk bertanda setuju atas ajakannya iapun berlalu
dari hadapanku dengan senyumannya yang terus merona di bibir mungilnya
dari balik jilbab merah itu.
Sebuah pertanyaan mesi terus menghampiriku, apa sebenarnya makna dari senyumannya itu? Senyuman yang beda, yang selalu meracuni pikiranku dan hari-hariku. Tapi, ya biarlah dia selalu tersenyum untuk memancarkan keindahannya yang melambai,manja, merayu dari balik jilbab merahnya. Hemm,, aku jadi teriangat dengan sebuah puisi dari Sapardi Djoko Damono ,
“Aku ingin mencintaimu dengan
sederhan
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kapada api yang menjadikannya abu,
aku ingin mencintaimu dengan sederhan
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikanya tiada”.
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kapada api yang menjadikannya abu,
aku ingin mencintaimu dengan sederhan
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikanya tiada”.
Sebuah puisi yang punya sejuta makna bagiku, seperti senyuman dari balik jilbab merah itu yang mengandung sejuta tanya dan sejuta makna bagiku...
Terima kasih kepada si gadis berjilbab merah atas senyuman mu siang tadi yang telah memberikan intuisi hati kepada ku, ku gorekan apa yang kurasakan kepada mu imaji ku,,,
Tondo, pada sebuah malam yang pekat di bulan Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar